Eks Marinir TNI AL, Satria Arta, Minta Pulang: Cerita yang Membuka Mata soal Pilihan Hidup dan Identitas

ABOUT SEMARANG – Satria Arta Kumbara, mantan Marinir TNI Angkatan Laut (AL) kembali menyita perhatian publik.

Di dalam video yang beredar di media sosial Satria Arta Kumbara mengungkapkan keinginannya pulang dan kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Pasalnya, beberapa waktu lalu diketahui jika Satria Arta Kumbara bergabung menjadi tantara bayaran Rusia dengan alasan mencari nafkah.

Perbuatannya menyebabkan ia ditangguhkan kewarganegaraan Indonesia setelah menandatangani kontrak dengan pemerintah Rusia.

Dikutip dari berbagai sumber, Satria terakhir berpangkat Sersan Dua dengan NRP 111026 dan bertugas di Inspektorat Korps Marinir Cilandak, Jakarta Selatan.

Namun pada 13 Juni 2022, ia dinyatakan desersi, dan akhirnya dipecat secara tidak hormat oleh pengadilan militer pada 17 April 2023.

Baru-baru ini, Satria mengungkapkan permohonan maaf kepada Presiden Prabowo, Wapres Gibran, dan Menlu Sugiono.

Selain itu, dirinya juga menyampaikan pesan dan harapan agar Pemerintah bisa memutus kontrak militer Rusia sekaligus mengembalikan status WNInya.

Terkait hal tersebut, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melalui KBRI Moskow menyatakan tengah memantau dan berkomunikasi dengan Satria.

Namun, soal legalitas kewarganegaraan kini berada di tangan Kementerian Hukum RI, sesuai tanggapan juru bicara Kemenlu Rolliansyah Soemirat.

Kisah Satria Arta mengingatkan kita pada:

1. Kesulitan ekonomi yang bisa mendorong seseorang melakukan tindakan ekstrem demi bertahan hidup.

2. Konsekuensi serius dari keputusan seperti desersi dan ikut dalam militer asing: kehilangan status, pemecatan, bahkan risiko moral dan hukum.

3. Peluang rehabilitasi dan perdamaian bila negara memberi ruang untuk kembali dan menebus kesalahan.

Satria Arta Kumbara adalah eks Marinir TNI AL yang mengalami perjalanan dramatis dari membelot sebagai tentara bayaran di Rusia karena alasan ekonomi, hingga kini mencuri simpati karena memohon kembali ke Indonesia.

Proses hukum dan administratif diperlukan untuk memulihkan statusnya, sementara publik menantikan respons pemerintah dan kemungkinan rehabilitasi.***